Historis (sejarah) PMII
![]() |
| Fasya Media |
Banyak organisasi mahasiswa bermunculan
di dalam naungan paying induknya. Misalkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
dekat dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), SEMI dengan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
dengan Muhammadiayah. Wajar saja kemudian anak muda NU ingin mendirikan wadah
tersendiri dan bernaung di bawah panji bintang sembilan. Keinginan tersebut
kemudian diwujudkan dalam bentuk Ikatan Mahasiswa Nahdalatul Ulama (IMANU) pada
desember 1955 yang diprakarsai oleh
beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tidak berumur panjang,
dikarenakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak keberadaannya. Ini bisa
kita pahami kenapa NU bertindak keras dalam menolak keberadaan IMANU, sebab
waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 februari 1954, apa jadinya jika
organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain?. Hal
ini logis sekali. Jadi, keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya
IMANU, tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas
organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada kongres IPNU
ke-2 (awal 1957 di Pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon) NU belum memandang
perlu adanya wadah tersendiri bagi anak muda NU. Namun kecendrungan ini sudah
mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah departemen baru dalam
kestrukturan IPNU yang kemudian departemen tersebut dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dengan semangat membara, mereka membahas
nama dan bentuk organisasi bagi mahasiswa Nahdliyin
semakin menguat pada konferensi besar IPNU pada tanggal 14-17 maret 1960 di
kaliurang Yogyakarta. Pada konferensi ini lahir keputusan “perlunya didirikan
suatu organisasi mahasiswa secara khusus bagi mahasiswa Nahdliyin”. Untuk mempersiapkan suatu musyawarah pembentukan
organisasi tersebut dibentuk panitia yang terdiri dari 13 orang dengan batas
waktu bekerja 1 bulan dengan rencana tempat pelaksanaan musyawarah di Surabaya.
Ke 13 orang tersebut adalah sebagai beriku:
- Cholid Mawardi (Jakarta)
- Said Budairy (Jakarta)
- M Sobich Ubaid (Jakarta)
- M Makmun Syukri (Bandung)
- Hilman (Bandung)
- H Ismail Makky (Yogyakarta)
- Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
- Nuril Huda Suaidy (Surakarta)
- Laily Mansur (Surakarta)
- Abd Wahab Jaulani (Semarang)
- Hisbullah Huda (Surabaya)
- M Cholid Narbuko (Malang)
- Ahmad Husain (Makassar)
Dan baru setelah
konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk
mendirikan wadah tersendiri bagi mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam
sebuah musyawarah se-agama tiga hari (14-16 April 1960) di Taman Pendidikan
Putri Khadijah (sekarang UNSURI Surabaya). Dengan semangat membara, mereka membahas
nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU
KH. Dr. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada
mahasiwa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai
prinsip: “Ilmu untuk diamalkan dan
bukan ilmu untuk ilmu”. Maka, lahirlah organisasi mahasiswa di
bawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau 21 Syawal 1379 Hijriah.
Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII).
Di samping latar belakang lahirnya PMII
seperti di atas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak muda NU yang ada di
organisasi lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut
mereka (Mahasiswa NU), bahwa HMI
sudah berpihak pada salah satu golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah
underbownya partai Masyumi, sehingga wajar kalau mahasiswa NU di HMI juga
mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur (1987), beliau
mengatakan bahwa PMII merupakan cerminan ketidakpuasan sebagian mahasiswa
muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis (Muhammadiyah) dan dalam urusan politik
lebih dekat dengan Masyumi.
Dari paparan di atas bisa ditarik
kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:
- Bahwa lahirnya PMII karena krtidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguran Tinggi.
- PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim NU untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam merealisasikan aspirasi politiknya.
- PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah dikalangan mahasiswa.
- Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi merepresentasikan paham mereka (Mahasiswa NU) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai Masyumi.
- Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.
Dengan demikian ide dasar pendirian PMII
adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri. Bahwa kemudian harus bernaung di
bawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya
karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi
sebagai bentuk kemutlakan. Tapi lebih dari itu, keterikatan PMII kepada NU
memang sudah terbentuk dan sengaja di atas kesamaan nilai, kultur, akidah,
cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berprilaku.
Tetapi kemudian PMII
harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap dependensi, sehingga
menumbuhkan berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan
berprilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu
haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika
dipergunakannya istilah idependen dalam deklarasi Murnajati pada tanggal 14
Juli 1972 di Malang dalam Musyawarah Besar (MUBES) III PMII, seolah telah
terjadi pembelahan diri anak ragil NU
dari induknya.
Sejauh pertimbangan- pertimbangan yang
terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari proses
pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata
masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang
melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat
pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang taqwa
kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab
mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan
Indonesia. Kedua, PMII selaku generasi muda Indonesia
sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggung jawab, bagi keberhasilan
pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu,
menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan
pembinaan rasa tanggung jawab.
Berdasarkan
pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independen, tidak
terikat dalam sikap maupun tindakan kepada siapapun dan hanya komitmen terhadap
perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan
Pancasila. (Naskah Deklarasi Murnajati).
Namun
hal itu tidak menghilangkan PMII dari NU, pembenahan dan refleksi terus
dilakukan oleh PMII yaitu pada “Apel
Pondok Gede” dan “Deklarasi
Interdependensi PMII-NU” pada 29 Oktober 1991. Hal
itu dimaksudkan sebagai klarifikasi PMII bahwasanya secara kultural tetap
nyambung dengan NU.

Post a Comment