Studi Gender dan Kelembagaan Kopri

Citra bahwa
laki-laki itu kuat dan rasional sementara perempuan lemah dan emosional
merupakan konstruksi budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-laki
dan perempuan terletak pada biologisnya, itulah yang disebut kodrat.
Konstruksi budaya di
atas seringkali disalahartikan sebagai kodrat sehingga menimbulkan rantai
ketidakadilan yang cenderung menindas baik laki-laki dan khususnya perempuan.
Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, setua peradaban
manusia.
PMII memiliki
komitmen terhadap keadilan gender, dan diwujudkan melalui pelembagaan gerakan
perempuan bernama KOPRI. Dalam perjalanan, KOPRI melewati berbagai dinamika.
Sempat dibekukan kemudian dalam KONGRES di Kutai (2003) direkomendasikan untuk
diaktifkan kembali.
Gender dan Gerakan Perempuan
a. Pengertian Gender
Menurut bahasa, kata
gender diartikan sebagai “the grouping of words into masculine, feminine,
and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex”
yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,
feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah
perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri
harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Kata gender jika
ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa
Inggris. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berati “jenis kelamin” (John
M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983,
hlm. 256). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku (Victoria Neufeldt (ed), Webster,s New World
Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s
Studies Encyclopedia, vol. I, New York: Green Wood Press, hlm. 153).
Karena istilah
gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbendaharaan kata di
Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa
Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan bahasa
Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata tersebut
tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap bagian
dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan
kata gender menjadi gender.
Kata gender ini jika
dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina (noun)
yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex (Peter Salim, Advance
English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga, Jakarta: Modern English Press,
1991, hlm. 384), atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab Hans
(Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, cet. III, London: McDonald
& Evans Ltd., 1980, hlm. 141). Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid:
Qamus Injiliziy Arabiy, Beirut: Dar al-’Ilm li al-Malayin, 1985, hlm.383).
Sehingga jika seseorang menyebuta atau bertanya tentang gender maka yang
dimaksud adalah jenis kelamin dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini
masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata
bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi sanngat laim digunakan dalam beberapa
dekade terakhir.
Pengertian gender
secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati
perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World. Half a Chance mendefinisikan
gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan
topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi
bahwa kita adalah feminim atau maskuulin (Lihat Julia Cleves Mosse, Half the
World. Half a Chance: an Introduction to Gender and Development,
terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 3).
Suke Silverius
memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan anatara
laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam
rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan
sosial (Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses
Humanisasi, Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id).
Ivan Illich
mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat,
tugas-tugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan
dengan perempuan dalam budaya sosial. Illich dianggap sebagai orang yang
pertama menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya untuk membedakan
segala sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terabatas pada penggunaan
jenis kelamin semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Perspektif
Islam: Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam
Islam”, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender
Perspektif Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 23. Ivan
Illich menulis buku Gender, diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan
judul Gender. Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Zaiyunah Subhan
mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang
dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki
dan perempuan karena konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah Subhan, “Gender
dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2, Maret,
hlm. 128).
Pengertian yang
lebih kongkrit dan lebih operasional dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa
gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi
perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa
sosial (Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina,
vol. I. No. 1, Juli-Desember 1998, hlm. 99).
Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam
mengidentifikasikan peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh
sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan tidak melihat jenis
biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat
pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
b. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
Menurut D.R.
Nasaruddin Umar dalam “Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan” (2000) ada beberapa
hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di dalam
Qur’an, yakni:
v
Perempuan dan Laki-laki
Sama-sama Sebagai Hamba
Menurut Q.S
al-Zaryat (51:56), (ditulis al-Qur’annya dalam buku argumen kesetaraan hal
248) Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba
ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diin sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun),
dan untuk mencapai derajat mutaqqstilahkaun ini tidak dikenal
adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atatu kelompok etnis tertentu,
sebagaimana disebutkan dalam Q.S al-Hujurat (49:13)
v
Perempuan dan Laki-laki
sebagai Khalifah di Bumi
Kapasitas manusia
sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam Q.S
al-An’am (6:165), dan dalam Q.S al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut,
kata “khalifah” tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya,
baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah,
yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
v Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan
laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan,
seperti dalam Q.S al-A’raf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang
disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak
dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama
menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah
memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S
al-Isra’/17:70)
v
Adam dan Hawa Terlibat
secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang
menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa
di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara
aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti
untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalan beberapa kasus berikut:
1. Keduanya diciptakan
di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S al-Baqarah/2:35)
2. Keduanya mendapat
kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S al-A’raf/7:20)
3. Sama-sama memohon
ampun dan sama-sama diampunin Tuhan (Q.S al-A’raf/7:23)
4. Setelah di bumi
keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dansaling membutuhkan
(Q.S al-Baqarah/2:187)
v
Perempuan dan Laki-laki
Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih
prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan
secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S Ali Imran/3:195; Q.S
an-Nisa/4:124; Q.S an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender
yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam
bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu
jenis kelamin saja.
c. Gender sebagai Kerangka Analisis
Gender merupakan
analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan
perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter.
Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure
(pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang
terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh
masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata,
tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi
termaginalkan sekarang adalah perempuan, maka perempuanlah yang lebih
ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih
oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan
karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir,
bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
d. Gerakan Perempuan
Para aktivis politik
feminis pada umunya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk
hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undang-undang yang
membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah
tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keIbuan (maternity leave),
kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji
dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.
Sekitar tahu 1960-an
dan 1970-an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan
difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras kulit
putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut diklaim
sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak
teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa “perempuan” merupakan kelompok
individu-individu yang serba sama degan kepentingan yang serupa. Para aktivis
feminis muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada
intas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan kelas
(kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah
gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan
yang didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang secara kultural
dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan wanita dalam
sebuah masyarakat.
Kelembagaan Kopri
PMII menyadari bahwa
anggotanya perlu diperdayakan semaksimal mungkin. Selama ini kader putri PMII
dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya,
padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi PMII
mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan kepengerusan PMII
diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).
a. Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran
Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 20 dinyatakan, ayat
(1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal
1/3 keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) setiap kegiatan PMII harus
menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.
Penjelasan soal
pemberdayaan anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII pasal 21 ayat (1)
Pemberdayaan Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu
KOPRI (Korp PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut diatas
selanjutnya diatur dalam Peraturan Organisasi (PO).
Adapun wadah
pemberdayaan anggota putri PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga khusus
bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana perempuan bernama KOPRI; ayat (2) KOPRI
adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader-kader Putri PMII melalui
Kelompok Kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI didirikan
pada 29 September 2003 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan merupakan
kelanjutan sejarah dari KOPRI yang didirikan pada 26 November 1967; dan ayat
(4) KOPRI bersifat semi otonom dalam hubungannya dengan PMII. Struktur KOPRI
sebagaimana struktur PMII, terdiri dari: PB KOPRI, PKC KOPRI dan PC KOPRI.
b. Visi dan Misi KOPRI
Visi KOPRI adalah
Terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan Misi KOPRI
adalah mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan
perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.
Post a Comment