Refleksi Sejarah PMII

Perjalanan salah satu organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia  bernama PMII telah mencapai pada konsekuensi logis yakni kedinamisan. Untuk menjawab kedinamisan ruang gerak dan pemikirannya, PMII harus melihat sejarah perjalanannya. Tanpa melihat realita ruang gerak PMII di masa lalu, rasanya sangat sulit untuk membangun sebuah cara pandang yang baru untuk menjawab tantangan zaman.

Maka oleh karena itu menjadi tantangan bagi kader PMII di mutakhir ini untuk membaca dan mengolah gerakan baru yang relevan dengan konteks masyarakat yang berkembang. Dengan begitu, PMII akan tetap mampu menempa dan mengaktualisasikan diri dengan pemikiran-pemikiran dan gerakan yang lebih mempunyai etos transformatif dan profesionalisme.

Wajah riil sejarah PMII dengan lahirnya PMII, independensi dan interdependensi PMII. Sejarah PMII harus diingat bahkan perlu dijadikan dasar pijakan orientasi anggota atau kader, agar tercapainya suatu elemen gerakan dalam jiwa kader bagaimana tetap menjalankan empat prinsip aswaja sebagai solusi konkrit untuk menjawab berbagai persoalan zaman yang sangat kompleks.

Mbah Munsif Nahrawi (bagian dari 13 panitia sponsor pendiri organisasi) mengatakan di Orasi Kebangsaan pada pelantikan PC. PMII Pamekasan bahwa "PMII adalah sumber motivasi. PMII pemuda NU. PMII pemegang estafet NU". Menjadi hal yang patut kita refleksi kembali sebagai kader. PMII tidak lepas dari semangat kiai, para ulama yang menjadi tokoh Agama dan sumber motivasi ummat. Lebih khususnya PMII lahir dalam tubuh NU.

Dalam sejarah, kita temukan kisah bagaimana mahasiswa NU dulu pada tahun 1950 dengan semangat tinggi ingin mendirikan sebuah organisasi kemahasiswaan yang berkomitmen menjunjung tinggi nilai idealisme sebagai penyambung lidah rakyat, senantiasa konsisten dalam mengintai para penguasa atau pejabat politik.

Pada tahun 1955 mahasiswa NU di Jakarta setempat mendirikan organisasi bernama Ikatan Mahasiswa NU (IMANU). Namun, organisasi ini tak berdiri lama, karena PBNU tidak memberikan restu. Dikarenakan IPNU masih baru terbentuk yang memerlukan pembenahan dan kosolidasi yang matang.

Tapi dengan semangat, kegigihan dengan gelora tinggi dan totalitas yang ditunjukkan mahasiswa NU untuk mendirikan sebuah organisasi kemahasiswaan, memperoleh solusi pada muktamar III IPNU pada 27-31 Desember 1958 di Cirebon dengan membentuk Departemen Perguruan Tinggi, yang akhirnya menjadi wadah dan aspirasi mahasiswa. Sehingga sampai pada 17 April 1960 PMII lahir dari rahim Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU).

Namun, keadaan zaman telah berubah menuntut PMII untuk peka dan pandai membaca realita politik yang mengerdilkan setiap komponen masyarakat termasuk partai politik. PMII berpandangan bahwa jika tetap bernaung di bawah NU yang masih berada dalam wilayah politik praktis, maka PMII akan mengalami kesulitan bergerak dan berkembang sebagai organisasi mahasiswa.

Atas pertimbangan inilah, Musyawarah Besar (Mubes) pada 14 juli 1972 di Murnajati, Malang. dari musyawarah tersebut, PMII memutuskan independen. Independensi berarti bersikap kemandirian, mandiri dalam gerak pemikiran maupun gerak operasional. Dengan independensi ini, PMII sudah tidak terikat pada sikap dan tindakan siapapun dan hanya berkomitmen dengan perjuangan organisasi serta cita-cita perjuangan nasional yang berazazkan pancasila.

Sejarah yang juga wajib diketahui anggota atau kader ialah deklarasi interdependensi PMII-NU, dicetuskan dalam Kongres X PMII pada 27 Oktober 1991 yang merupakan suatu sikap tidak saling mengintervensi secara struktural dan kelembagaan, tetapi memiliki visi dan tujuan yang sama. Sikap ini menjadi unik bagi PMII, karena bisa jadi satu-satunya ormas mahasiswa yang mempunyai istilah Interdependen.


Upaya mempertegas Deklarasi Interdependensi PMII-NU dalam Musyawarah Kerja Nasional (Muskernas) PB PMII tanggal 24 Desember 1991 di Cimacan, Jawa Barat, merumuskan implementasi interdependensi PMII-NU. Pertama, dalam pandangan PMII ulama sebagai pewaris para Nabi merupakan panutan karena kedalaman ilmu keagamaannya.

Kedua, adanya ikatan historis yang mempertemukan PMII dan NU. Ketiga, adanya kesamaan paham keagamaan antara PMII dan NU. Keempat, adanya persamaan kebangsaan. Kelima, adanya kesamaan kelompok sasaran, sama memiliki mayoritas anggota dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah dan berangkat dari pedesaan yang berpendidikan di pesantren.(*)

*Oleh: Ach. Faizi, Sumenep, Mahasiswa Aktif IAIN Madura

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.